Selasa, 20 Desember 2016

✰ Ilmuwan Indonesia Bikin Satelit Radar Mikro

Pertama di Dunia https://3.bp.blogspot.com/-0yPQe0ef9Ho/WFgB6gITs_I/AAAAAAAAJ28/sL1iTXCpDFkU9cnUucbGpbcz0MT7V25dQCLcB/s1600/Satelit%2Bmikro%2Bberbobot%2B150%2Bkilogram%2Bdengan%2Bmuatan%2BCircularly%2BPolarized-Synthetic%2BAperture%2BRadar%2B%2528CP-SAR%2529%252C%2BKamis%2B%252816122016%2529%252C%2Bdi%2BJosaphat%2BMicrowave%2BRemote%2BSensing%2BLaboratory%2B%2528JMRSL%2529%252C%2BUniversitas%2BChiba%252C%2BJepang.%2BIni%2Bsatelit%2Bmikro%2Bpertama%2Byang%2Bmembawa%2Bsens.jpgSatelit mikro berbobot 150 kilogram dengan muatan Circularly Polarized-Synthetic Aperture Radar (CP-SAR), Kamis (16/12/2016), di Josaphat Mic✰rowave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), Universitas Chiba, Jepang. Ini satelit mikro pertama yang membawa sensor radar. 🌟

I
ndonesia rupanya punya banyak orang pintar dan berprestasi. Salah satunya adalah Josaphat Tetuko Sri Sumantyo. Josaphat adalah ilmuwan asal Indonesia yang menjadi orang pertama yang membuat satelit radar mikro pertama di dunia.

Josaphat merupakan profesor radar di Chiba University, Jepang. Dia telah merampungkan pembuatan satelit mikro serta sensor circurlarly polarized synthetic aperture radar (CP-SAR). Satelit dan sensor ini dirancang dan dibangun di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University. Rencananya, satelit ini akan diluncurkan di Indonesia pada 2019 mendatang.

Meski disebut mikro, tapi satelit ini memiliki berat 150 kilogram dan menjadi satelit berbobot ringan pertama di dunia yang membawa sensor radar. Selama ini, satelit radar memiliki berat lebih dari 1 ton. "Bertahun-tahun saya kembangkan teknologi mutakhir lain untuk memperkecil dan mengurangi beratnya hingga sepersepuluh lebih," ujar Josaphat kepada Tempo melalui pesan singkat, Jumat, 16 Desember 2016.

Keunggalan satelit ini ada pada teknologi polarisasi melingkar yang bisa mengurangi getaran wahana pembawa radar dan pengaruh rotasi Faraday di ionosfer. Dengan cara ini, citra yang didapat lebih akurat ketimbang radar konvensional. Teknologi itu adalah temuan Josaphat sendiri dan telah dipatenkan.

Josaphat menjelaskan, CP-SAR merupakan sensor radar yang bekerja di gelombang L band atau 1,270 gigahertz (GHz). Gelombangnya memiliki panjang 23 sentimeter. Itulah yang membuat radar ini dapat menembus awan, kabut, asap, hutan, dan bisa penetrasi ke dalam tanah.

Selain L band, sensor juga dapat menangkap frekuensi C band (5,3 GHz), X band (9,4 GHz), dan Ku band (13,2 GHz), sesuai dengan target yang akan diamati. Semakin tinggi frekuensi, makin detail citra yang akan diperoleh.

"Dapat menembakkan gelombang mikro (microwave) dan menerimanya kembali untuk diolah menjadi citra radar. Bisa dipakai pada siang dan malam hari," tutur pria kelahiran Bandung, 25 Juni 1970, ini. Ketimbang citra kamera biasa, kata dia, radar ini menghasilkan informasi soal intensitas, fase, dan polarisasi suatu objek, sehingga dapat diperoleh informasi lebih detail.

Karena itu, menurut Josaphat, satelit dan sensor ini tepat sekali untuk pengamanan lalu lintas laut (sea surveillance), penjagaan lintas batas negara, penjagaan nelayan ilegal, pemantauan kebakaran hutan, gunung meletus, pemeliharaan infrastruktur. "Sampai prediksi pergeseran tanah akibat gempa dan tanah longsor," kata Josaphat, yang pernah menjadi peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) selama 10 tahun.

Josaphat mengembangkan sensor satelit mikro CP-SAR ini sejak 2007 untuk berbagai keperluan pengamatan permukaan bumi, bulan, hingga planet Mars dan Venus. Selain di satelit mikro, ujarnya, sensor ini juga dapat dipasang di pesawat nirawak, pesawat, dan satelit besar. Serta kendaraan biasa untuk keperluan pengamatan permukaan tanah dan perubahannya.

Selama ini, Josaphat dan tim laboratoriumnya telah menggunakan sensor CP-SAR untuk beberapa penelitian. Di antaranya, penurunan tanah di kota Jakarta, tanah longsor, kebakaran lahan gambut, dan pengaruh sedimentasi terhadap reklamasi di Teluk Jakarta. Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory selama ini telah bekerja sama dengan berbagai badan ruang angkasa di dunia, seperti NASA dan Seoul University untuk pengambangan radar pengamatan bulan, Mars, dan Venus. Juga dengan Badan Antariksa Eropa (ESA) untuk membuat sensor SAR berfrekuensi tinggi. Serta, LAPAN dan JAXA (Badan Antariksa dan Penerbangan Jepang) untuk membuat satelit mikro SAR.

Dia berencana memberi nama satelit ini sebutan "Tanah Air". "Harapannya satelit ini dapat bermanfaat bagi Indonesia, khususnya dalam mengamati sumber daya alam dan melindungi warganya dari bencana alam," ujarnya. "Satelit ini pun mewujudkan mimpi saya waktu umur lima tahun. Saat itu, saya berjanji kepada Ayah yang juga anggota Angkatan Udara dan pelatih di Komando Pasukan Khas, untuk membuatkan satelit pengamatan."

  🌟 Tempo  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...