Minggu, 26 Oktober 2014

Lemahnya Pengawasan ALKI, Mengancam Kedaulatan RI

Konsep kepulauan (archipelagos) telah dinyatakan dalam sebuah ketentuan LOSC (Law of The Sea Convention) yang dijelaskan sebagai “ suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian”. PASCA kemerdekaan Indonesia, konsep laut teritorial lahir dan pada awalnya laut teritorial Indonesia sejauh 3 mil yang diukur dari garis pangkal yang sebagaimana diatur dalam hukum kebiasaan Internasional (Customary International Law) yang berlaku pada waktu itu. Konsepsi wawasan nusantara hadir setelah Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 tentang perairan Indonesia dan diperkuat dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1960 mengenai batas perairan Indonesia sejauh 12 mil dari pulau-pulau besar. Namun, deklarasi Djuanda masih menyisahkan “Perairan Internasional” di antara pulau pulau besar yang membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melihat kelemahan dari hasil deklarasi Djuanda, Indonesia memperjuangkan konsep sebagai negara kepulauan yang berdaulat melalui UNCLOS (United Nation Commision Law of The Sea) yang disahkan tahun 1982 dan meratifikasi melalui Undang-Undang No 17 Tahun 1985 tentang Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional.

Secara umum Alur Laut Kepulauan Indonesia mengakomodasi berbagai kepentingan di laut yang menyangkut mengenai pelayaran dan hal lain terkait mengenai transportasi yang berada di laut dan di udara. Sebagai negara maritim yang besar, Indonesia memberikan hak-hak kepada negara asing dalam hak berlayar dan terbang secara langsung terus menerus dan tidak terhalang dari satu bagian laut lepas atau ZEE ke laut lepas atau ZEE lainnya. Hal ini berdasarkan pada hasil rancangan hak lalu lintas dalam (Peraturan Pemerintah) PP terkait Hukum Laut Internasional.

Kebijakan ini membuat perairan Indonesia tak ada lagi perairan Internasional dalam perairan teritorialnya maupun perairan pedalaman (umpamanya antara dua buah pulau). Batas perairan Indonesia ke arah laut lepas di hitung 12 mil dari titik terluar NKRI. Dari rentetan perjuangan diatas menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi maritim yang sangat besar dengan wilayah laut seluas 5.8 juta km2 atau sekitar 75% dari luas wilayahnya yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3.2 juta km2 dan wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) 2.7 juta km2 dengan 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km.

Terbukanya jalur ALKI ini membuat Indonesia menjadi negara yang sangat rentan dalam hal pertahanan kemananan dan hal ini tentu saja menjadi tanggung jawab Indonesia agar setiap kapal yang melewati ALKI merasa aman dari segala bentuk ancaman dan gangguan.

Posisi Indonesia sebagai penghubung antara dua lautan bebas Pasifik dan Hindia, maka ALKI memotong kesatuan wilayah perairan Indonesia. Dimana jalur ini dapat digunakan sebagaimana laut bebas. Ancaman yang terangkum di dalamnya menurut Dr.Y.Paonganan mencakup 16 transational threats plus 1, yaitu a.1 mencakup ; illegal fishing, drugs human and guns trafficking, terrorism piracy, global warming and climate change effects, illegal migrations, energy security chain, water and food security, serta bahaya utama dari beredarnya Private Military Companies (PMCs) di perairan kita untuk melindungi MNCs dan kepentingan beberapa “bisnis hitam” diatas.

Kepala Pusat Informasi Hukum bekerja sama Badan Koordinator Keamanan Laut (Bakorkamla), Triyuswoyo, mengatakan, kedepan seluruh perairan Indonesia, akan dipasang satelit. Meski tidak gampang, namun hal itu akan ditingkatkan. “Dengan menggunakan pemantauan satelit yang ditempatkan di beberapa titik strategis Maritime Regional Coordinate Centre (MRCC) diharapkan dapat membantu melakukan pemantauan yang disertai koordinasi dengan RCC (Regional Coordinat Centre). RCC harus memberikan laporan ke MRCC yang kemudian diteruskan ke markas besar dari setiap pergerakan maupun informasi yang masuk maupun yang terpantau diradarnya. Dan untuk wilayah Indonesia idealnya bisa lebih dari puluhan RCC. Hal itu bisa saja ada suatu daerah dipertajam pemantauannya, tinggal memenuhi kebutuhan yang disesuaikan dengan kondisi daerahnya.

Kelemahan ALKI, dilihat dari kacamata Prof Hasyim Djalal adalah monitoring. Karena pengawas dalam hal ini Bakorkamla tidak akan tahu kapal yang lewat di ALKI. Bahkan terkesan bebas lewat disana, karena memang dilewati oleh kapal militer. Sebenarnya maksud diadakan ALKI itu supaya kita bisa memonitor kalau kapal-kapal asing lewat di perairan kita, kalau dia lewat di ALKI biasanya dibiarkan, tetapi tidak bisa keluar dari jalur ALKI, namun sayangnya hingga saat ini pengawasannya masih sangat lemah.

Paling penting, kata Hasyim, perlu peningkatan pengamanan dan perlu peningkatan anggaran belanja untuk keperluan penegakan tersebut. Jika itu dilakukan, maka saya yakin pengawasan akan berjalan maksimal, dan bagi siapapun yang melintas ALKI tentunya akan sangat sulit untuk membuat pelanggaran.(MAD)

  ★ maritimemagz  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...